BERITAU.ID, JAKARTA – Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) menyoroti isu netralitas pada para perangkat desa dalam Pemilu 2024. Muhammad Asri Anas, Koordinator Nasional Apdesi mengungkapkan adanya praktik money politik hingga potensi pelanggaran aturan netralitas yang mencuat dalam persiapan Pemilu 2024.
Dalam pernyataannya, Anas menyoroti tindakan beberapa calon presiden (Capres) yang diduga memberikan uang transportasi. Nilainya sebesar Rp 1 juta kepada kepala desa untuk setiap pertemuan konsolidasi dukungan suara.
Pernyataan ini menimbulkan kekhawatiran akan integritas pemilihan presiden. Sehingga pentingnya tindakan tegas untuk memastikan pemilu berjalan adil dan bebas dari pengaruh yang tidak semestinya.
Muhammad Asri Anas, Koordinator Nasional APDESI, mengatakan, Tuduhan ini sangat serius dan memerlukan respons cepat dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
“Kita tidak bisa membiarkan praktik money politik merusak esensi demokrasi kita. Bawaslu harus segera menyelidiki dan memverifikasi kebenaran dari tuduhan ini untuk memastikan keadilan dan integritas pemilu,” tukasnya.
Pernyataan Anas juga menyoroti keterlibatan APDESI dalam mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo-Gibran.
Dukungan terbuka dari organisasi yang seharusnya netral ini menimbulkan pertanyaan serius tentang pelanggaran aturan netralitas.
Dalam merespons pernyataan Anas, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki kewajiban untuk menyelidiki dan memastikan kebenaran dari tuduhan tersebut.
Menindaklanjuti informasi dari Koordinator Nasional APDESI adalah langkah krusial dalam menjaga integritas pemilihan presiden.
Dukungan terbuka dari relawan perangkat desa di bawah APDESI kepada capres dan cawapres Prabowo-Gibran menimbulkan kekhawatiran akan adanya potensi bias dan pengaruh yang tidak sehat dalam proses demokrasi.
APDESI, sebagai asosiasi yang mewakili kepala desa, diharapkan dapat mempertahankan netralitasnya dan tidak memberikan dukungan yang cenderung pada salah satu pasangan calon.
“Inkonsistensi pernyataan Anas tentang dukungan awalnya kepada Anies Baswedan dan kemudian beralih dukungan menunjukkan ketidaknetralan yang mengkhawatirkan. Sebagai koordinator nasional asosiasi ini, Anas seharusnya mempertahankan netralitas dan independensi dalam menyikapi proses pemilihan,” ungkap Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan TIM Visi Misi AMIN.
Pernyataan Anas yang berubah-ubah menimbulkan pertanyaan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan tersebut dan apakah ada tekanan atau insentif politik yang terlibat.
APDESI, sebagai wadah yang mewakili kepala desa, seharusnya menjadi contoh dalam menjaga netralitas agar proses pemilihan berlangsung dengan adil.
Sebagai tanggapan atas klaim Anas, Achmad Nur Hidayat menegaskan, “Penilaian bahwa salah satu paslon capres-cawapres lebih peduli terhadap pembangunan desa adalah kesimpulan yang subjektif dan prematur,”.
“Keterlibatan aparat desa dalam mendukung satu paslon dapat merusak prinsip pemilihan yang adil dan bebas dari pengaruh yang tidak semestinya,” tukasnya.
Menariknya, bulan Desember 2021 lalu, APDESI secara terbuka mendukung Joko Widodo untuk periode ketiga, meskipun ada bantahan internal. Keputusan tersebut menjadi polemik di kalangan publik, menciptakan keraguan terhadap netralitas APDESI.
“Sehingga jika APDESI saat ini lebih memilih Prabowo-Gibran, publik pun faham arah dari klaim Anas ini bahwa Prabowo dianggap lebih peduli terhadap pembangunan desa. Namun, klaim ini tentu saja banyak publik yang tidak sependapat,” ujar Hidayat.
Keberagaman pendapat di kalangan publik menegaskan perlunya transparansi dan kejujuran dalam mendukung pasangan calon presiden. Keterlibatan tokoh-tokoh partai dan salah satu cawapres dalam acara Silaturahmi Nasional Desa 2023 semakin memperumit isu ini.
Achmad Nur Hidayat menekankan, “Keterbukaan dan kejujuran harus menjadi prinsip utama dalam setiap aspek pemilihan presiden, untuk menjaga integritas dan keadilan proses demokrasi di Indonesia. Anas, sebagai pihak yang mengungkapkan tuduhan ini, harus memberikan informasi yang lebih rinci dan jelas kepada publik sebagai bentuk tanggung jawabnya dalam menjaga transparansi dan keadilan pemilu.”
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga pengawas pemilu memiliki peran yang sangat penting dalam menangani isu-isu serius seperti ini. Keterlambatan atau kekurangan respons dapat merugikan proses pemilu dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.
“Bawaslu harus segera bertindak untuk menyelidiki dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam menangani isu ini. Kejelasan dan konsistensi dalam sikap politik sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik dalam proses demokrasi,” papar Achmad Nur Hidayat.
Dalam konteks ini, masyarakat sipil dan media massa juga memiliki peran yang besar untuk memastikan bahwa setiap praktik yang dapat merusak integritas pemilihan presiden diatasi dengan serius. Proses pemilu yang adil dan transparan adalah kunci keberhasilan demokrasi di Indonesia.