BERITAU.ID, YOGYA – Paguyuban Becak Motor Malioboro Yogyakarta menegaskan bahwa aksi peringatan Hari HAM Sedunia pada 10 Desember harus benar-benar berlangsung damai demi menjaga Malioboro dari ancaman kerusuhan yang berpotensi melumpuhkan ekonomi.
Peringatan itu muncul karena pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa sedikit saja terjadi aksi bakar-bakaran atau lempar-lemparan, kawasan wisata Malioboro langsung kehilangan pengunjung.
Sikap resmi paguyuban jelas dan tegas bahwa demonstrasi adalah hak warga negara tetapi tidak boleh menjurus menjadi aksi anarkis yang merugikan semua pihak.
“Kami tidak melarang demo, tapi jangan ada bakar-bakaran dan jangan anarkis,” ujar Ketua Paguyuban Bentor Malioboro, Heru Tengeng.
Heru menekankan bahwa para pelaku usaha kecil selalu menjadi korban paling awal setiap kali kerusuhan terjadi di jantung kota Yogyakarta.
Ia menjelaskan bahwa wisatawan biasanya menghindari Malioboro begitu ada kabar kericuhan dan kondisi itu langsung memutus pendapatan ribuan keluarga yang menggantungkan nafkah dari padatnya arus wisata.
“Kalau ada aksi anarkis, orang enggan datang ke Malioboro dan ekonomi langsung lumpuh,” tegasnya.
Heru bahkan menyatakan siap mengerahkan anggota paguyuban untuk membantu menjaga ketertiban jika memang dibutuhkan oleh panitia aksi atau aparat keamanan.
“Anggota kami ada 1.200 orang, dan kalau dibutuhkan, kami siap mengawal aksi Hari HAM 10 Desember agar tetap damai,” katanya.
Ia menambahkan bahwa keamanan ruang publik menjadi fondasi utama yang menentukan apakah para pengemudi bentor bisa pulang membawa uang atau justru merugi akibat kondisi kota yang tidak kondusif.
“Kami hanya ingin mencari nafkah dengan tenang, jadi tolong jangan ada aksi yang merusak,” ujarnya.
Kekhawatiran tersebut juga dirasakan oleh pihak pengelola kawasan cagar budaya Malioboro yang melihat potensi gangguan keamanan setiap kali ada aksi besar.
Kepala UPT Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Diah Anggraini, mengingatkan bahwa Malioboro merupakan bagian dari sumbu filosofi dunia yang harus dijaga bersama oleh masyarakat.
“Malioboro itu bukan hanya milik Yogyakarta, tapi milik Indonesia bahkan dunia,” kata Diah.
Ia menegaskan bahwa pihaknya menghormati hak warga untuk menyampaikan pendapat tetapi keamanan pengunjung tetap menjadi prioritas utama.
“Kita harus berdiskusi bagaimana demonstrasi bisa berjalan, tapi Malioboro tetap menjadi ruang aman bagi warga dan wisatawan,” ujarnya.
Seruan damai juga datang dari Ketua PHDI DIY, I Nengah Lotama, yang mengingatkan bahwa aksi unjuk rasa harus dilakukan dengan penuh kebijaksanaan.
“Penyampaian aspirasi hendaknya dilakukan dengan tertib dan tidak mengganggu aktivitas warga lain,” kata Nengah Lotama.
Ia memberi peringatan khusus agar peserta aksi tidak membawa atau menggunakan ogoh-ogoh karena benda tersebut memiliki makna religius yang sangat sakral dan hanya digunakan dalam ritual keagamaan Nyepi.
“Dalam melaksanakan aksi unjuk rasa jangan menggunakan ogoh-ogoh karena dapat menyinggung pihak lain dan ogoh-ogoh hanya digunakan pada ritual Tawur Agung saat Hari Suci Nyepi,” tegasnya.
Ia juga mengajak seluruh warga menjaga Yogyakarta tetap damai, teduh, dan tidak mudah terprovokasi.
“Mari kita jaga Yogyakarta sebagai kota yang damai,” ajaknya.
Seruan-seruan tersebut memperkuat harapan bahwa aksi Hari HAM 10 Desember 2025 akan berlangsung tanpa kericuhan sehingga wajah Malioboro tetap aman, wisatawan tetap berdatangan, dan ekonomi warga kecil tidak lagi menjadi korban amarah massa.












